Mengenal Imam Hanafi Lebih Dekat

Mengenal Imam Hanafi Lebih Dekat

Tempat Lahir dan Silsilah Imam Hanafi

Imam Hanafi telah lahir pada tahun 80 H (699 M) di Kota Kufah. Beliau memiliki nama kecil sebagai Nu'man bin Tsabit bin Zauth bin Mah. Ayah Imam Hanafi merupakan keturunan dari Bangsa Persia (sekitar Kabul Afghanistan) yang telah menetap lama di Kufah.

Beliau lahir pada masa pemerintahan Abdullah Malik bin Marwan yang merupakan penguasa Bani Umayyah saat itu. 

Imam Hanafi juga sering diberi lakab Abu Hanifah karena salah satu putra beliau ada yang bernama Hanifah. Namun, pendapat lain mengatakan bahwa panggilan Abu Hanifah tidak lain karena ketaatan beliau dalam beribadah kepada Allah. Hanif merupakan bahasa Arab yang artinya cenderung kepada yang benar. 

Namun, ada juga pendapat yang lain. Hanifah merupakan bahasa Irak yang artinya tinta. Hal tersebut tidak lain karena beliau begitu erat dengan tinta karena sering menulis.

Kecerdasan Imam Hanafi

Kecerdasan Imam Hanafi tidak perlu diragukan lagi. Banyak para cendekiawan yang memberikan pengakuan dan pernyataan terkait dengan kecerdasan sang imam, antara lain:

  1. Imam Abdul Mubarak berkata: "Aku belum pernah melihat seorang lelaki yang lehib cerdik daripada Imam Abu Hanifah".
  2. Imam Ali bin Ashim berkata: "Jika sekiranya ditimbang akal Abu Hanifah dengan akal para penduduk yang ada di kota ini, niscaya akal mereka itu akan kalah."
  3. Imam Abu Yusuf berkata: "Aku belum pernah memiliki sahabat yang sangat cerdas dan cerdik melebihi kecerdasan yang dimiliki oleh Abu Hanifah."
  4. Raja Harun Ar-Rasyid pernah berkata: "Abu Hanifah merupakan seorang yang mampu melihat dengan akalnya terhadap apa yang tidak dapat ia lihat dengan mata kepalanya sendiri."

Terlepas dari pernyataan-pernyataan tersebut, secara langsung kita juga dapat menilai bahwa sosok Abu Hanifah memang cerdas. Hal ini dapat kita lihat dari kemampuan beliau dalam menentukan hukum-hukum suatu permasalahan.

Imam Hanafi Tentang Fiqih

Semasa muda, Imam Hanafi sangat rajin menuntut ilmu. Beliau sangat haus akan ilmu terutama ilmu keagamaan. 

Beliau pernah belajar ilmu agama kepada Imam Hammad bin Abi Sulaiman, seorang guru yang sering diberi kepercayaan kepada Imam Hanafi untuk mengajarkan ilmu agama dan memberikan fatwa. Kepercayaan ini karena Imam Hanafi memiliki wawasan yang luas dan pandangan beliau dalam setiap permasalahan hukum agama. 

Baca Juga: Strategi Ikhlas Menghadapi Takdir Ilahi

Suatu saat, Imam Maliki pernah ditanyai oleh orang: "Pernahkah Anda melihat Imam Abu Hanifah?" Lalu jawab Imam Maliki: "Ya, saya pernah melihatnya. Ia adalah seorang yang luas ilmunya. Jika Anda bertanya tentang tiang ini supaya dijadikan emas, niscaya Abu Hanifah akan memberikan alasan-alasannya".

Imam Syafi'i juga pernah berkata: "Manusia seluruhnya adalah menjadi keluarga dalam ilmu fiqih dan menjadi anak buah Imam Abu Hanifah".

Keterangan dari kedua imam mazhab tersebut menegaskan bahwa Imam Abu Hanifah memiliki pengetahuan luas terhadap masalah fiqih dan juga memiliki pandangan yang luas dalam mengulas hukum-hukum Islam.

Kepandaian Imam Hanafi dalam Ilmu Hadits

Dalam menentukan suatu hukum, selain Al-Quran juga diperlukan hadits Nabi. Hal ini sengaja kita tekankan supaya tidak ada kesan bahwa beliau kurang memperhatikan sunnah atau hadits Nabi karena beliau juga dijuluki Ahlu Ra'yu.

Abu Yusuf berkata: "Saya belum pernah melihat seorang yang lebih mengerti tentang hadits dan tafsirnya selain daripada Abu Hanifah. Ia mengetahui akan illat-illat hadits, mengerti tentang ta'dil dan tarjih, memahami tentang tingkatang hadits yang sah atau tidak".

Imam Hanafi sendiri pernah berkata: "Jauhilah oleh kamu memperkatakan urusan agama Allah menurut pendapat sendiri, tidak menurut hadts-hadits Nabi".

Beliau sangat selektif terhadap hadits sehingga hadits yang dipandang lemah beliau tinggalkan dan lebih mengutamakan rasio (qiyas).

Untuk meyakinkan kecintaan beliau terhadap hadits, sepantasnya kita juga melihat beberapa pernyataan dari riwayat berikut:

  1. Beliau pernah berkata: "Hendaklah kamu semua mengikuti atsar (bekas pimpinan orang yang terdahulu di masa Nabi dan para sahabat):. Hal tersebut berarti bahwa dalam urusan agama tidak boleh mengada-ada.
  2. Beliau juga pernah berkata: "Jauhilah olehmu akan perbuatan bid'ah serta melampaui batas dalam urusan agama dan hendaklah kamu mengikuti urusan-urusan yang pertama sekali (pimpinan Nabi SAW).
  3. Selanjutnya: "Hendaklah kamu mengikuti akan atsar dan jauhkanlah akan tiap-tiap perkara yang baru, karena perkara yang baru dalam urusan ibadah adalah bid'ah". 

Pendirian Imam Hanafi Tentang Taqlid

Sebagai seorang ulama besar, beliau tidak membenarkan perilaku taqlid tanpa mengetahui dasar atau dalil yang digunakan. Imam Hanafi sangat ingin agar seseorang bersikap kritis dalam menerima fatwa dan ajaran agama, sehingga tidak ada seorang ulama pun yang dikultuskan.

Beliau pernah berkata: "Tidak halal bagi seorang yang akan memberi fatwa dengan perkataanku, selama ia belum memahami dari mana perkataan itu".

Pada suatu ketika, beliau pernah ditanya oleh orang: "Apabila engkau telah berkata, padahal menyalahi akan kitab Allah, lalu bagaimana?" Beliau menjawab: "Tinggalkanlah perkataanku, ikutilah kitab Allah". Kemudian ditanyai lagi: "Apabila menyalahi khabar (hadits) Rasulullah?" Beliau menjawab: "Tinggalkanlah perkataanku, ikutilah perkataan khabar Rasulullah". Kemudian ditanya lagi: "Lalu bagaimana kalau menyalahi perkataan sahabat Nabi?" Beliau menjawab: "Tinggalkanlah perkataanku dan ikutilah para sahabat Nabi".

Begitulah pendirian Imam Hanafi yang tidak bisa menerima taqlid dan penetapan suatu fatwa harus mengikuti alurnya tersendiri. Bahkan Imam Hanafi juga sangat jarang untuk bertaqlid kepada imam-imam besar lainnya yang hidup sezaman dengan Imam Hanafi.

0/Post a Comment/Comments