Dasar-dasar Mazhab Imam Maliki

Dasar-dasar Mazhab Imam Maliki
 
Dasar-dasar Mazhab Imam Maliki yang harus Anda ketahui sebagai wawasan dan ilmu pengetahuan terhadap perkembangan mazhab. Secara garis besar, dasar-dasar hukum yang diambil dan dipergunakan oleh Imam Maliki adalah sebagai berikut:
  1. Kitab Allah (Al-Quran)
  2. Sunnah rasul yang beliau pandang sah
  3. Ijmak para ulama Madinah, namun kadang-kadang beliau menolak hadits apabila ternyata berlawanan atau tidak diamalkan oleh ulama Madinah
  4. Qiyas
  5. Istishlah, yakni mengekalkan apa yang telah ada karena suatu hal yang belum diyakini. 

Baca Juga: Mengenal Imam Maliki Lebih Dekat

Bagaimana Cara Imam Maliki Memberi Fatwa?

Sebagai seorang ulama besar, Imam Maliki sangat berhati-hati dan teliti dalam urusan hukum-hukum Islam, terutama dalam urusan riwayat yang dikatakan hadits dari Nabi. 
 
Imam Syafi'i pernah berkata: "Sungguh aku telah menyaksikan Imam Maliki, bahwa beliau pernah ditanya masalah-masalah sebanyak empat puluh delapan masalah, beliau menjawab "saya belum tahu". Dari pernyataan tersebut jelaslah bahwa Imam Maliki sangat berhati-hati dalam menjawab masalah yang berhubungan dengan hukum-hukum keagamaan dan beliau tidak terburu-buru memberi jawaban terhadap permasalah tersebut yang memang belum diketahui hukumnya.
 
Beberapa ulama meriwayatkan, Imam Maliki pernah berkata: "Saya tidak memberi fatwa-fatwa dan meriwayatkan hadits, sehingga tujuh puluh ulama membenarkan dan mengakui". Artinya bahwa segala masalah yang difatwakan oleh beliau kepada orang lain setelah disaksikan oleh tujuh puluh orang ulama. Dan mereka itulah yang menetapkan dan menyepakati bahwa beliau seorang yang ahli dalam masalah yang difatwakannya itu.
 

Pendapat Imam Maliki dalam Bidang Aqidah

Dalam bidang ini Imam Maliki sangat tegas dalam memegang prinsip. Sebaik-baik urusan agama adalah yang telah menjadi sunnah dan sejelek-jeleknya urusan adalah yang diada-adakan. Oleh sebab itu beliau menolak segala macam aqidah yang ditimbulkan oleh partai-partai Islam dan mengenai aqidah beliau berpegang kepada nash. 
 
Beliau berpendapat bahwa iman adalah gabungan dari iktikad hati, ucapan lidah dan amal anggota, dan iman itu bisa bertambah dan bisa juga berkurang.

Sedangkan mengenai qadar, beliau berdiri seimbang, artinya bahwa segala perbuatan manusia terjadi dengan ciptaan Allah, tetapi manusia mempunyai daya usaha untuk mengusahakannya, karenanya manusia dibalas kelak segala perbuatannya.

Mengenai kemakhlukan al-Quran yang dikembangkan oleh al-Jaham dan dianut oleh Qadariah dan Muktazilah yang sebenarnya tidak dapat dianggap menyimpang dari agama. Imam Maliki tidak memperkatakannya. Sebenarnya kita tidak perlu menyesatkan orang yang mengatakan kemakhlukan al-Quran karena mereka percaya benar bahwa al-Quran itu turun dari Allah.

Pandangan dalam Bidang Politik

Imam Maliki tidak membenarkan masyarakat menuduh sahabat Rasul, baik golongan Khawarij yang menuduh Usman, Ali, Amar bin Ash, Muawiyah, dan lain-lain telah menjadi kafir maupun dari golongan Syiah yang mencela Abu Bakar dan Usman, beliau berkata: "Jika di Madinah berkembang penistaan terhadap para sahabat, wajiblah kita keluar dari Madinah itu, jika tidak dapat menolongnya".

Dalam bidang politik, Imam Maliki tidak banyak bicara. Beliau tidak ingin mencampuri persengketaan dan perselisihan. Kita hanya menemukan pendirian-pendirian Maliki secara tidak rinci dalam sebagian ucapannya dan sikapnya. Dalam pada itu, dapat kita lihat pendapat beliau, bahwa khalifah itu tidak harus dipegang oleh keluarga Hasyimi (Alawi) dan jalan memilih khalifah itu tidak dipengaruhi oleh hawa nafsu, atau dengan dimusyawarahkan oleh panitia negara yang dibentuk untuk itu, dan pengangkatan itu dilakukan dengan bai'at kaum muslimin.

Menurut pendapat beliau apabila seseorang merebut kekuasaan, tetapi berlaku adil dan masyarakat senang menerimanya, maka kita tidak boleh memberontak kepadanya, sebaliknya kita harus menaatinya. Tetapi jika tidak berlaku adil, beliau tidak membolehkannya. Beliau mengambil jalan maslahat dalam bidang politik dan menghindari bencana yang lebih besar.
 

Pesan Imam Maliki Terhadap Bid'ah

Imam Maliki sangat tegas terhadap bid'ah dan ahli bid'ah. Beliau pernah bersyair yang artinya: "Sebaik-baik urusan agama itu adalah mengikuti Sunnah Nabi dan sejelek-jelek urusan agama itu adalah perbuatan yang baru". Artinya bahwa sebaik-baik urusan agama mengenai peribadatan adalah yang mengikuti pimpinan Nabi atau Sunnah Nabi dan sejelek-jeleknya adalah yang diperbuat tanpa contoh dari Nabi dan tidak pernah pula dikerjakan oleh Nabi.

Pada kesempatan yang berbeda, beliau juga pernah berkata: "Barang siapa yang mengada-ada suatu perbuatan baru dalam urusan agama, dan ia telah menganggap bahwa perbuatan baru itu baik, maka sesuangguhnya berarti ia telah menuduh bahwa Nabi SAW telah menyembunyikan risalahnya. 

Oleh sebab itu, apa pun yang tidak menjadi agama pada masa itu, tidak akan menjadi agama pada masa yang lain. Artinya bahwa orang yang memamndang perbuatan yang baru itu baik, berarti menganggap Nabi tidak sempurna dalam menyampaikan risalahnya kepada umat manusia.

Nasihat Imam Maliki Terhadap Sikap Taqlid

Sebagai ulama besar, beliau tidak pernah mengajarkan atau memberikan pimpinan kepada muridnya agar bertaqlid terhadap pendapat atau buah penyelidikan beliau bahkan amat berhati-hati dalam menjatuhkan hukum halal dan haram dan sangar melarang orang bertaqlid buta, dan sebagai bukti, di bawah ini ada beberapa pesan beliau.

Imam Maliki pernah berkata: "Saya seorang manusia, dan saya terkadang salah terkadang benar. Oleh sebab lihatlah dan pikirkanlah baik-baik pendapat saya, jika sesuai dengan al-Quran dan Sunnah maka ambillah dia, dan jika tidak sesuai maka tinggalkanlah". Artnya bahwa jika beliau menjatuhkan hukuman dalam masalah keagamaan, dan pada waktu menetapkan buah pikirannya itu bukan dari nash al-Quran dan Sunnah, maka masing-masing kita disuruh untuk melihat dan memperhatikannya kembali dengan baik tentang pendapat beliau. Maksudnya semua pikiran yang diutarakannya terlebih dahulu harus dicocokkan dengan nash yaitu al-Quran dan Sunnah.

Pada suatu hari, beliau juga pernah mengatakan bahwa: "Tidaklah semua perkataan itu lalu diturut sekalipun ia orang yang mempunyai kelebihan-kelebihan. Kita tidak mesti mengikuti perkataan orang dengan sembarangan meskipun orang itu punya kelebihan, ketinggian derajat atau terpandang mulia. Kalau perkataan orang itu jelas berlawanan atau menyalahi hukum-hukum Rasul, maka kita diperbolehkan untuk tidak mengikutinya."

Dengan demikian jelaslah, bahwa kita dilarang bertalid kepada pendapat-pendapat dan perkataan yang memang nyata tidak sesuai dengan petunjuk yang ada dalam al-Quran dan Synnah. Demikianlah nasihat-nasihat Imam Maliki mengenai taqlid.

0/Post a Comment/Comments