Dasar-dasar Mazhab Imam Syafi'i


Imam Syafi'i adalah seorang ulama yang berdiri dengan mazhab Maliki dan mempertahankan mazhab ulama Madinah  tersebut. Beliau juga terkenal dengan sebutan Nasyirus Sunnah (penyebar Sunnah). 

Beliau adalah ulama yang mampu mengumpulkan thariqat antara ahlur ra'yu dengan thariqat ahlul hadits. Oleh karena itu, mazhab Imam Syafi'i tidak terlalu condong kepada ahlul hadits.

Di dalam kitab ar-Risalah, tersimpulkan mengenai dasar-dasar mazhab Imam Syafi'i yang menjadi acuan, yaitu:
  1.  Al-Quran, Imam Syafi'i mengambil makna yang lahir di dalamnya, kecuali jika terdapat alasan yang menunjukkan bukan arti secara lahir, yang harus dipakai atau dituruti.
  2. As-Sunnah, di mana beliau mengambil Sunnah tidaklah mewajibkan yang mutawatir saja, namun secara Ahad pun diambil dan dipergunakan untuk menjadi dalil. Asalkan telah mencukupi syarat-syaratnya, yakni selama perawi hadits itu orang kepercayaan, kuat ingatan dan bersambung langsung sampai kepada Nabi SAW.
  3. Ijmak dalam arti bahwa para sahabat semuanya telah sepakat. Selain itu beliau berpendapat dan meyakini bahwa kemungkinan ijmak dan persesuaian paham bagi segenap ulama itu, tidak mungkin karena berjauhan tempat tinggal dan sukar berkomunikasi. Imam Syafi'i sejatinya masih mendahulukan hadits Ahad daripada ijmak yang bersendikan ijtihad, kecuali kalau ada keterangan bahwa ijmak itu bersendikan naqal dan diriwayatkan dari orang ramai hingga sampai kepada Rasulullah.
  4. Qiyas, di mana Imam Syafi'i memakai qiyas apabila dalam ketiga dasar hukum di atas tidak tercantum, namun juga dalam keadaan memaksa. Hukum qiyas yang terpaksa diadakan itu hanyalah persoalan keduniaan atau muamalah saja, karena segala sesuatu yang berhubungan dengan urusan ibadat telah cukup sempurna dalam al-Quran dan as-Sunnah Rasulullah. Untuk itu beliau dengan tegas mengatakan bahwa tidak ada qiyas dalam hukum ibadah. Beliau tidak langsung terburu-buru dalam menentukan suatu hukum secara qiyas sebelum terlebih dahulu menyelidiki tentang dapat atau tidaknya hukum itu bisa dipergunakan.
  5. Istidlal, yang maksudnya menarik kesimpulan sesuatu barang dari barang lainnya. Ada dua sumber utama yang diakui bisa untuk ditarik kesimpulan yaitu adat kebiasaan dan undang-undang agama yang diwahyukan sebelum Islam. Adat kebiasaan yang lazim di tanah Arab pada waktu Islam datang dan tidak dihapus oleh Islam, maka mempunyai kekuasaan hukum. Demikian pula adat kebiasaan yang lazim di mana-mana, jika tidak bertentangan dengan jiwa al-Quran atau tidak terang-terangan dilarang oleh al-Quran, juga diperbolehkan. Menurut ahli hukum: "Diizinkan sesuatu adalah prinsip asli, oleh karena itu apa yang tidak dinyatakan haram untuk diizinkan."
Dalam hal pengambilan istidlal, Imam Syafi'i mencari alasan atas kaidah-kaidah agama ahli kitab yang terang-terangan tidak dihapus al-Quran. Beliau tidak sekali-kali mempergunakan pendapat atau buah pikiran manusia. 
Seterusnya beliau tidak mau mengambil hukum dengan cara istihsan. Imam Syafi'i berpendapat mengenai istihsan ini yaitu: "Barangsiapa menetapkan hukum dengan istihsan berarti ia membuat syariat tersendiri."

0/Post a Comment/Comments